ARTIKEL ANCAMAN NASIONAL
TENTANG:
INDONESIA DARURAT NARKOBA
NAMA : FIKRI SYUHADA
NPM : 14414221
KELAS : 2IB06
TEKNIK ELEKTRO UNIVERSITAS GUNADARMA
2016
ANCAMAN NASIONAL
INDONESIA DARURAT NARKOBA
WARTA KOTA, TANGERANG – Kantor Bea Cukai Bandara Soekarno Hatta mengakui bahwa Indonesia memang menjadi salah satu pasar narkoba besar. Konsumennya pun meningkat setiap tahunnya. "Pada tahun 2015 lalu, pengguna narkoba di Indonesia tercatat ada sebanyak 5,8 juta jiwa. Banyaknya pengguna narkoba juga dibarengi dengan maraknya upaya penyelundupan narkoba dari luar negeri, " kata Kepala Bidang Kepatuhan dan Layanan Informasi Kantor Bea Cukai Bandara Soekarno Hatta, Dadan Farid dalam gelar perkara pada Senin (11/4).
Berdasarkan data yang pernah dihimpun Warta Kota, jumlah pengguna narkoba pada tahun 2014 silam tercatat ada sebanyak 4,1 jiwa. Ini membuktikan bahwa jumlah pengguna narkoba meningkat cukup pesat tiap tahunnya.
"Banyaknya pengguna narkoba di Indonesia jelas berbanding lurus dengan jumlah permintaan, layaknya hukum ekonomi. Permintaan besar, mengakibatkan suplai yang besar pula. Belum lagi perputaran uang dalam jumlah besar yang membuat banyak orang semakin ingin menggeluti bisnis ini, " kata Dadan.
Dadan menegaskan, pihaknya pun berperan besar dalam menekan angka pengguna narkoba dengan cara mencegah narkoba dari luar negeri masuk ke Indonesia.
"Kami menjalankan fungsi community protector, yang mengawasi barang yang hendak masuk maupun keluar dari Indonesia. Kami harus terus siaga, karena modus penyelundupannya pun semakin kompleks, " katanya lagi.
Diberitakan sebelumnya oleh Warta Kota, Kantor Bea dan Cukai Bandara Soekarno Hatta bersama Badan Narkotika Nasional menyita total 4,4 kilogram narkoba jenis sabu selama bulan Maret 2016.
Permasalahan penyalahgunaan narkotika sudah lama masuk dan dikenal di Indonesia, hal itu dapat dilihat dari dikeluarkannnya Instruksi Presiden Republik Indonesia (INPRES) Nomor 6 Tahun 1971 kepada Kepala Badan Koordinasi Intelijen Nasional (BAKIN) untuk menanggulangi enam permasalahan nasional yang menonjol, salah satunya adalah penanggulangan penyalahgunaan narkotika. Lambat laun penyalahgunaan narkotika menjadi masalah yang serius, maka dari itu pada zaman Orde Baru pemerintah mengeluarkan regulasi berupa Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Karena permasalahan penyalahgunaan narkotika sudah menjadi masalah yang luar biasa, maka diperlukan upaya-upaya yang luar biasa pula, tidak cukup penanganan permasalahan Narkotika ini hanya diperankan oleh para penegak hukum saja, tapi juga harus didukung peran serta dari seluruh elemen masyarakat. Kenyataan itulah yang menjadi latar belakang berdirinya Badan Narkotika Nasional (BNN). BNN pun gencar melakukan upaya-upaya preventif dan represif untuk mewujudkan Indonesia yang bebas dari narkoba tahun 2015 yang merupakan target dari seluruh negara ASEAN.
Upaya-upaya itu meliputi penyelamatan para pengguna narkoba dengan cara rehabilitasi, dan memberantas para bandar, sindikat, dan memutus peredaran gelap narkotika. Tetapi itu tidak cukup, karena diperlukan pula upaya preventif berupa pencegahan agar tidak muncul pengguna/pecandu narkotika yang baru, mengingat kata pepatah yang mengatakan, “lebih baik mencegah daripada mengobati”.
Pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika saat ini tidak hanya ada pada kalangan yang cukup umur saja, bahkan pada kalangan yang belum cukup umur. Oleh karena itu diperlukan upaya pencegahan penyalahgunaan narkotika sejak dini.
Keseriusan pemerintah dalam menanggulangi permasalahan penyalahgunaan narkotika tersebut sangat diperlukan. Terutama penyamaan kedudukan permasalahan narkotika dengan permasalahan korupsi dan terorisme. Ketiga permasalahan tersebut sama-sama mempunyai dampak yang sistemik, mengancam ketahanan nasional, serta merusak kesehatan masyarakat terutama generasi muda.
Permasalahan
Dapat dilihat permasalahan yang timbul adalah dari segi penanganan para penyalahguna narkotika. Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika,
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan.
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa narkotika adalah zat atau obat yang sangat penting untuk keperluan pengobatan, tetapi justru akan menimbulkan masalah yang besar apabila di salah gunakan. Pasal 7 UU No. 35 Tahun 2009 menyatakan bahwa “Narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi”.
Di samping itu, Pasal 1 angka 15 UU No. 35 Tahun 2009, menyatakan bahwa penyalah guna adalah orang yang menggunakan narkotika secara tanpa hak dan melawan hukum. Orang yang menggunakan narkotika secara tanpa hak dan melawan hukum di sini dapat diklasifikasikan sebagai pecandu dan pengedar yang menggunakan dan melakukan peredaran gelap narkotika.
Undang-undang pun sudah memberikan penjelasan yang sangat jelas. Undang-undang No. 35 Tahun 2009 itu pada dasarnya mempunyai 2 (dua) sisi, yaitu sisi humanis kepada para pecandu narkotika, dan sisi yang keras dan tegas kepada bandar, sindikat, dan pengedar narkotika. Sisi humanis itu dapat dilihat sebagaimana termaktub pada Pasal 54 UU No. 35 Tahun 2009 yang menyatakan, Pecandu Narkotika dan korban penyalagunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Sedangkan sisi keras dan tegas dapat dilihat dari pasal-pasal yang tercantum di dalam Bab XV UU No. 35 Tahun 2009 (Ketentuan Pidana), yang mana pada intinya dalam bab itu dikatakan bahwa orang yang tanpa hak dan melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan, hukumannya adalah pidana penjara. Itu artinya undang-undang menjamin hukuman bagi pecandu/korban penyalahgunaan narkotika berupa hukuman rehabilitasi, dan bandar, sindikat, dan pengedar narkotika berupa hukuman pidana penjara.
Permasalahan yang muncul adalah dari perbedaan persepsi antar para aparat penegak hukum yang kemudian menimbulkan penanganan penyalahguna narkotika yang berbeda-beda pula. Sangat sering terjadi penyidik menggunakan pasal yang tidak seharusnya diberikan kepada pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika. Jaksa Penuntut Umum pun hanya bisa melanjutkan tuntutan yang sebelumnya sudah disangkakan oleh penyidik, yang kemudian hal itu berujung vonis pidana penjara oleh Pengadilan (Hakim) kepada para pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika.
Seharusnya aparat penegak hukum dapat lebih jeli lagi melihat amanat Undang-Undang dan regulasi lainnya yang mengatur tentang penanganan penyalahguna narkotika. Sudah jelas dikatakan dalam pasal 54 yang mengutamakan bahkan wajib hukumnya pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika untuk menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, hal itu diperkuat lagi oleh Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2011 Tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika.
PP ini bertujuan untuk memenuhi hak pecandu Narkotika dalam mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Apa yang dimaksud dalam PP No. 25 Tahun 2011 ini pun semestinya dijalankan pula oleh para aparat penegak hukum mengingat Peraturan Pemerintah termasuk dalam hierarki perundang-undangan.
Begitu pula apabila kita lihat dari sisi hakim. Hakim seharusnya dapat memperhatikan pasal-pasal pada UU No. 35 Tahun 2009, sebagai berikut:
PASAL 103 UU No. 35 Tahun 2009
(1) Hakim yang memeriksa perkara Pecandu Narkotika dapat :
Memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika pecandu narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tidak pidana narkotika; atau
Menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika pecandu Narkotika tesebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidan Narkotika.
(2) Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi Pecandu Narkotika sebagaimna dimaksud pada ayat (1) huru a diperhitungkan sebagai masa menjalanani hukuman.
dan,
PASAL 127 UU No. 35 Tahun 2009
(2) Dalam memutus perkara, hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksdu dalam pasal 54, pasal 55, dan pasal 103.
Pasal 54, 55, dan 103 UU No. 35 Tahun 2009, lebih mengutamakan para pecandu dan korban penyalahgunaan Narkotika untuk direhabilitasi.
UPAYA PENANGGULANGAN
1. Preventif
- Pendidikan Agama sejak dini
- Pembinaan kehidupan rumah tangga yang harmonis dengan penuh perhatian dan kasih saying.
- Menjalin komunikasi yang konstruktif antara orang tua dan anak
- Orang tua memberikan teladan yang baik kepada anak-anak.
- Anak-anak diberikan pengetahuan sedini mungkin tentang narkoba, jenis, dan dampak negatifnya.
- Pembinaan kehidupan rumah tangga yang harmonis dengan penuh perhatian dan kasih saying.
- Menjalin komunikasi yang konstruktif antara orang tua dan anak
- Orang tua memberikan teladan yang baik kepada anak-anak.
- Anak-anak diberikan pengetahuan sedini mungkin tentang narkoba, jenis, dan dampak negatifnya.
2. Tindakkan Hukum
Dukungan semua pihak dalam pemberlakuan Undang-Undang dan peraturan disertai tindakkan nyata demi keselamatan generasi muda penerus dan pewaris bangsa. Sayangnya KUHP belum mengatur tentang penyalah gunaan narkoba, kecuali UU No :5/1997 tentang Psikotropika dan UU no : 22/1997 tentang Narkotika. Tapi kenapa hingga saat ini penyalah gunaan narkoba semakin meraja lela ? Mungkin kedua Undang-Undang tersebut perlu di tinjau kembali relevansinya atau menerbitkan kembali Undang-Undang yang baru yang mengatur tentang penyalahgunaan narkoba ini.
3. Rehabilitasi
Didirikan pusat-pusat rehabilitasi berupa rumah sakit atau ruang rumah sakit secara khusus untuk mereka yang telah menderita ketergantungan. Sehubungan dengan hal itu, ada beberapa alternative penanggulangan yang dapat kami tawarkan :
Didirikan pusat-pusat rehabilitasi berupa rumah sakit atau ruang rumah sakit secara khusus untuk mereka yang telah menderita ketergantungan. Sehubungan dengan hal itu, ada beberapa alternative penanggulangan yang dapat kami tawarkan :
a. Mengingat penyalah gunaan narkoba adalah masalah global, maka penanggulangannya harus
dilakukan melalui kerja sama international.
b. Penanggulangan secara nasional, yang teramat penting adalah pelaksanaan Hukum yang tidak
pandang bulu, tidak pilih kasih. Kemudian menanggulangi masalah narkoba harus dilakukan secara terintegrasi antara aparat keamanan ( Polisi, TNI AD, AL, AU ) hakim, jaksa, imigrasi, diknas, semua dinas/instansi mulai dari pusat hingga ke daerah-daerah. Adanya ide tes urine dikalangan Pemda Kalteng adalah suatu ide yang bagus dan perlu segera dilaksanakan. Barang siapa terindikasi mengkomsumsi narkoba harus ditindak sesuai peraturan DIsiplin Pegawai Negri Sipil dan peraturan yang mengatur tentang pemberhentian Pegawai Negri Sipil seperti tertuang dalam buku pembinaan Pegawai Negri Sipil. Kemudian dikalangan Dinas Pendidikan Nasional juga harus berani melakukan test urine kepada para siswa SLTP-SLTA, dan barang siapa terindikasi positif narkoba agar dikeluarkan dari sekolah dan disalurkan ke pusat rehabilitasi. Di sekolah- sekolah agar dilakukan razia tanpa pemberitahuan sebelumnya terhadap para siswa yang dapat dilakukan oleh guru-guru setiap minggu. Demikian juga dikalangan mahasiswa di perguruan tinggi.
c. Khusus untuk penanggulangan narkoba di sekolah agar kerja sama yang baik antara orang tua dan guru diaktifkan. Artinya guru bertugas mengawasi para siswa selama jam belajar di sekolah dan orang tua bertugas mengawasi anak-anak mereka di rumah dan di luar rumah. Temuan para guru dan orang tua agar dikomunikasikan dengan baik dan dipecahkan bersama, dan dicari upaya preventif penanggulangan narkoba ini dikalangan siswa SLTP dan SLTA.
d. Polisi dan aparat terkait agar secara rutin melakukan razia mendadak terhadap berbagai diskotik, karaoke dan tempat-tempat lain yang mencurigakan sebagai tempat transaksi narkoba. Demikian juga merazia para penumpang pesawat, kapal laut dan kendaraan darat yang masuk, baik secara rutin maupun secara insidental.
e. Pihak Departemen Kesehatan bekerjasama dengan POLRI untuk menerbitkan sebuah booklet yang berisikan tentang berbagai hal yang terkait dengan narkoba. Misalnya apakah narkoba itu, apa saja yang digolongkan kedalam narkoba, bahayanya, kenapa orang mengkomsumsi narkoba, tanda- tanda yang harus diketahui pada orang- orang pemakai narkoba cara melakukan upaya preventif terhadap narkoba. Disamping itu melakukan penyuluhan ke sekolah-sekolah, perguruan tinggi, dan berbagai instansi tentang bahaya dan dampak negative dari narkoba. Mantan pemakai narkoba yang sudah sadar perlu dilibatkan dalam kegiatan penyuluhan seperti itu agar masyarakat langsung tahu latar belakang dan akibat mengkomsumsi narkoba.
F. Kerja sama dengan tokoh-tokoh agama perlu dieffektifkan kembali untuk membina iman dan rohani para umatnya agar dalam setiap kotbah para tokoh agama selalu mengingatkan tentang bahaya narkoba.
g. Seperti di Australia, misalnya pemerintah sudah memiliki komitmen untuk memerangi narkoba. Karena sasaran narkoba adalah anak-anak usia 12-20 tahun, maka solusi yang ditawarkan adalah komunikasi yang harmonis dan terbuka antara orang tua dan anak-anak mereka. Booklet tentang narkoba tersebut dibagi-bagikan secara gratis kepada semua orang dan dikirin lewat pos kealamat-alamat rumah, aparteman, hotel, sekolah-sekolah dan lain-lain. Sehubungan dengan kasus ini, maka keluarga adalah kunci utama yang sangat menentukan terlibat atau tidaknya anak-anak pada narkoba. Oleh sebab itu komunikasi antara orang tua dan anak-anak harus diefektifkan dan dibudayakan.
Kesimpulan dan Saran
Pada permasalahan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa penanganan para penyalahguna narkotika di Indonesia masih rancu. Para pecandu narkotika yang merupakan korban pada akhirnya banyak divonis pidana penjara dan ditempatkan dalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), yang mana dalam lapas tersebut para pecandu narkotika disatukan dengan para bandar, sindikat, dan pengedar gelap narkoba.
Padahal fakta empiris tegas melihat bahwa peredaran narkotika di dalam lapas juga marak. Itu artinya, vonis pidana penjara dan penempatan para pecandu Narkotika di dalam lapas tidaklah efektif, belum tentu pula menimbukan efek jera. Yang terjadi, para pecandu tersebut akan semakin kecanduan dan makin mudah memakai barang haram tersebut karena berbaur dengan para bandar, sindikat, dan pengedar narkotika.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, mengingat tindak pidana narkotika merupakan kejahatan yang luar biasa, maka diperlukan penanganan yang luar biasa pula. Sebagaimana yang dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional, adanya strategi Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika (P4GN), yang diperkuat lagi oleh Instruksi Presiden No.11 Tahun 2011 Tentang Pelaksanaan Kebijakan dan Strategi Nasional P4GN.
Dalam strategi tersebut, tahun 2014 ditetapkan sebagai tahun penyelamatan para pecandu narkotika demi menurunkan prevalensi pecandu narkotika dan sebagai salah satu cara untuk mewujudkan tahun 2015 Indonesia bebas dari narkoba.
Selain itu terdapat juga program dekriminalisasi dan depenalisasi terhadap para pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika, di mana dekriminalisasi itu adalah proses penghapusan tuntutan pidana kepada para pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika dalam tahap penyidikan, penuntutan, dan pengadilan.
Sedangkan depenalisasi adalah suatu keadaan dimana para pecandu dan korban penyalagunaan narkotika melaporkan diri kepada Institusi Penerima Wajib Lapor yang ditunjuk oleh Pemerintah yang kemudian para pecandu dan korban penyalahguna narkotika tersebut diberikan perawatan berupa rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Menurut saya, diperlukan persamaan persepsi antar penegak hukum dalam hal penanganan para penyalahguna narkotika.
Dalam hal persamaan persepsi antar para penegak hukum, sudah terbit Peraturan Bersama antara Mahkamah Agung, Kementerian Hukum dan HAM, Kejaksaan Republik Indonesia, Kepolisian Republik Indonesia, Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, dan Badan Narkotika Nasional. Yang ditandangani oleh Ketua MA, Menteri Hukum & HAM, Jaksa Agung, Menkes, Mensos, dan Kepala BNN pada 11 Maret 2014.
Peraturan Bersama tersebut terkait penanganan Pecandu dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi dan bertujuan untuk mendekriminalisasikan para pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika.
Peraturan bersama ini merupakan langkah konkret bagi pemerintah dalam menekan jumlah pecandu dan korban penyalahgunaan Narkotika di Indonesia.
Perubahan besar terjadi pada orientasi penanganan pengguna Narkoba pada pasca-ditandatanganinya Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung, Menkumham, Menkes, Mensos, Jaksa Agung, Kapolri dan Kepala BNN dimana selama ini pengguna bermuara pada hukuman pidana penjara.
Ke depan diharapkan, para pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika akan bermuara di Lembaga Rehabilitasi. Karena hukuman bagi pengguna disepakati berupa pidana rehabilitasi. Hakim mempunyai peran yang sangat penting dalam rangka mendekriminalisasikan pengguna narkotika dengan menjatuhkan hukuman rehabilitasi. Untuk lebih memfungsikan peran hakim tersebut perlu dukungan dari aparat penegak hukum berupa peraturan bersama.
Dalam peraturan bersama tersebut dibentuk Tim Asessmen Terpadu yang berkedudukan di tingkat pusat, tingkat provinsi, tingkat kabupaten/kota. Tim tersebut terdiri dari tim dokter dan tim hukum yang bertugas: melaksanakan analisis peran tersangka yang berkaitan dengan peredaran gelap narkotika (terutama pengguna); melaksanakan analisis hukum, analisis medis dan analisis psikososial; serta membuat rencana jangka waktu rehabilitasi yang diperlukan. Hasil asessmen tersebut kemudian menjadi pendukung dalam hal pembuktian bagi pelaku tindak pidana narkotika untuk dikategorikan sebagai pacandu atau pengedar.
Persamaan persepsi antar penegak hukum menurut saya belum cukup. Dalam hal pelaksanaan rehabilitasi dan wajib lapor kepada para pecandu dan penyalahguna narkotika diperlukan upaya yang luar biasa, yakni peran serta dari seluruh elemen masyarakat untuk ikut menyosialisasikan dan mendorong agar para pecandu dan korban penyalahguna narkotika secara sukarela melaporkan dirinya ke Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) yang ditunjuk oleh Pemerintah sebagaimana amanat dari Pasal 55 UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dan PP No. 11 Tahun 2012 Tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika.
Pasal 55 UU No. 35 Tahun 2009, menyatakan bahwa;
(1) Orang tua atau wali dari Pecandu Narkotika yang belum cukup umur wajib melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
(2) Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur wajib melaporkan diri atau dilaporkan oleh keluarganya kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Oleh karena amanat dari pasal 55 UU No. 35 Tahun 2009 tersebut, maka diperlukan pula peran dari si pecandu/korban penyalahgunaan narkotika, keluarga dan masyarakat untuk mendorong para pecandu tersebut agar secara sukarela melaporkan dirinya ke Institusi Penerima Wajib Lapor untuk mendapatkan perawatan berupa rehabilitasi medis dan sosial.
Di tahun 2015, penanganan terhadap bandar/pengedar memang patut diacungi jempol, beberapa dari mereka yang berasal dari luar negeri maupun dalam sudah dieksekusi mati. Kebijakan dan keseriusan presiden bersama penegak hukum patut diapresiasi karena telah menjalankan amanat UU Narkotika. Namun sekali lagi pertanyaannya adalah bagaimana dengan penanganan para pecandu yang menurut UU adalah korban?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar